Wasiat Seseorang

Hari semakin larut. Suasana kian senyap. Kenderaan sudah tidak ada lagi yang berlalu lalang. Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Maesa membantu Bu Surti menutup warungnya yang kecil. Setelah itu Maesa pulang ke rumahnya yang berada tak jauh dari warung Bu Surti.
Bu Surti tinggal sendirian di warung itu. Ia tidak memiliki suami ataupun anak. Dulu ia pernah menikah. Sepuluh tahun menikah, mereka tidak dikaruniai satu anak pun sehingga suaminya pun menceraikannya. Sejak saat itu Bu Surti memilih untuk hidup sendiri. Ia menghidupi dirinya dengan berjualan di warungnya yang sederhana itu.
Warung itu sangat kecil. Dulunya merupakan ruang tamu yang kini dirombak sedemikian rupa. Tiang-tiang di bagian dalam terbuat dari bambu yang agak besar. Dindingnya dari tepas. Atapnya terbuat dari daun rumbia. Dengan keteguhan hatinya, Bu Surti merubah gubuknya itu menjadi sebuah warung yang mungil dan sederhana. Ia berjuang keras sendiri memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sudah enam bulan ini Maesa bekerja untuknya. Ia membantu Bu Surti menjual gorengan dan penganan ringan lainnya. Mereka membuka warung itu mulai pukul tiga sore hingga pukul sepuluh malam. Setelah jualannya habis ataupun kira-kira pembeli mulai sepi, Bu Surti dan Maesa menutup warung lalu kembali ke peraduannya masing-masing.
Maesa jarang sekali tidur di warung itu. Ia hanya menginap di situ jika hujan menjebaknya. Itu pun jika hujan deras. Kalau hanya gerimis, ia paksakan kakinya untuk melangkah pulang. Apalagi letak rumahnya tidak begitu jauh. Kali ini ia pulang membawa satu kantung plastik yang berisi gorengan untuk diberikan kepada adik-adiknya.
Kantuk yang hebat menyerangnya. Udara malam merambat masuk melalui pori-pori tubuhnya. Ia merasa letih dan kedinginan. Namun pikirannya tak mau berhenti menerawang. Hari ini pembeli sangat sedikit dibandingkan hari-hari lainnya. Ia bosan menunggu pembeli yang tak kunjung datang. Kebosanan itulah yang membuat dirinya semakin letih. Ditambah lagi ia melihat sikap Bu Surti yang agak aneh akhir-akhir ini.
Tak biasanya Bu Surti diam. Ia hanya bicara seperlunya saja. Bahkan kadang Bu Surti tak memperdulikan pertanyaan dan canda yang dilontarkan Maesa. Sikap yang aneh itu menjadi tanda tanya dalam pikirannya. Bahkan menambah kebosanan di pundaknya selama ia menjaga warung itu. Maesa merasa sendirian menjaga warung itu meskipun Bu Surti ada di sampingnya.
Tak biasanya Bu Surti bersikap diam seperti itu. Senyum pun tak terpajang lagi di sudut bibirnya. Padahal sejak pertama kali Maesa bekerja di warung itu, Bu Surti suka bercerita tentang apa saja. Ia biasa bercerita tentang masa lalu, pengalamannya, ataupun tentang impian dan harapannya. Tak jarang pula ia bercerita tentang hal-hal yang unik dan lucu untuk mengurangi rasa bosan saat menunggu pembeli. Itulah yang membuat Maesa merasa betah bekerja dengan Bu Surti.
Perubahan sikap Bu Surti akhirnya menjadi misteri bagi Maesa. Pada awalnya ia merasa biasa-biasa saja dengan sikap Bu Surti yang berubah seratus delapan puluh derajat itu. Ia berpikir mungkin saja Bu Surti sedang tidak enak badan. Namun sikap itu semakin jelas karena sudah berlangsung beberapa minggu. Bu Surti tetap dalam diamnya. Maesa pun menjadi bingung.
Mungkin saja Maesa telah berbuat salah. Atau barangkali Bu Surti tidak percaya lagi terhadapnya. Bisa saja Bu Surti tidak ingin Maesa bekerja lagi denganya. Kerja tidak beres. Atau Maesa telah menyinggung perasaannya secara tidak sengaja. Beragam dugaan mengerumuni pikirannya.
Sebenarnya ia ingin menanyakan perihal perubahan sikap Bu Surti secara langsung. Bisa saja Bu Surti sedang menghadapi masalah. Mungkin ia bisa membantu mengatasi masalahnya. Tapi selama ini Bu Surti tidak pernah bersikap tertutup padanya. Bukankah Bu Surti selalu bercerita tentang segalanya termasuk masalah-masalahnya? Ia tidak pernah menyembunyikan sesuatu kepada Maesa. Jadi ia mengubur niatnya dalam-dalam untuk menanyakan perubahan sikap Bu Surti selama ini. Mungkin pada saatnya nanti Bu Surti akan menceritakannya.
Kantuk semakin mengamuk. Kepalanya terasa semakin berat. Maesa mempercepat langkahnya. Badannya terlalu letih untuk menampung kebosanan hari ini. Ia pun sampai di depan rumah. Ketukan pintu disambut oleh ibu dan adik-adiknya. Mereka belum tidur. Maesa memberikan gorengan kepada adik-adiknya lalu langsung masuk ke kamar tidurnya. Ibunya maklum dengannya. Mungkin Maesa terlalu letih hari ini.
“Ada apa, Sa? Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya ibunya memecahkan lamunan Maesa.
“Ah, tidak ada apa-apa Bu!”
“Tidak ada apa-apa? Dari tadi pagi sampai sekarang Ibu lihat kamu lebih banyak termenung. Lagi ada masalah, ya?” Ibunya penasaran dengan sikap Maesa. “Kamu lagi ada masalah dengan Bu Surti?”
“Tidak kok, Bu!” Maesa mencoba menyimpan kebingungannya sendiri. Sikap Bu Surti yang aneh itu hanya berdampak pada dirinya. Jadi ia tidak mau memberitahukan hal itu kepada siapapun termasuk ibunya sendiri.
Maesa tak berhenti menjelajahi rasa penasarannya. Ia pun mengoreksi diri. Mencoba mengingat-ingat sikapnya yang mungkin menyakiti Bu Surti. Bisa saja ada kejadian yang terlupakan. Namun tak ada satupun yang bisa menjelaskan perubahan sikap Bu Surti itu. Biasanya jika Bu Surti tersinggung padanya, ia akan langsung memarahi dan menasehati Maesa. Dari Bu Surtilah Maesa belajar bagaimana bersikap ramah kepada orang lain. Dengan begitu akan mudah untuk menarik pelanggan sebanyak-banyaknya.
Berkali-kali Maesa mencari tahu tapi ia tak menemukan jawabanya. Ah, mungkin aku belum sanggup memikirkan masalah Bu Surti jadi ia belum mau menceritakannya padaku, ia membatin. Bisa saja masalah yang dihadapi Bu Surti terlalu berat. Aku hanyalah tamatan SMP. Belum mampu berpikir secara cerdas terhadap suatu masalah. Maesa pun larut dalam pikirannya sendiri.
“Sudah sana! Ini sudah jam dua. Ayo cepat bantu Bu Surti membuka warungnya!” Ibunya membangunkan lamunan Maesa.
“Iya Bu! Maesa segera berangkat!”
Dengan berpakaian rapi, Maesa berangkat menuju warung Bu Surti. Namun pikirannya belum mau beranjak dari hal itu. Suatu tanda tanya besar yang memenuhi ruang kepalanya. Tak menyisakan tempat untuk memikirkan hal yang lainnya. Pikirannya terus saja melayang dalam kebingungan.
Maesa melangkah perlahan. Lalu ia terhenti. Pikirannya mengeruh. Sepertinya ia teringat sesuatu. Tiba-tiba keringat dingin keluar dari tubuhnya. Wajahnya pun mulai pucat. Ada sesuatu yang mengganggu hatinya. Jangan-jangan ada yang mengetahui rahasia Bu Surti. Bu Surti pernah bercerita tentang rahasianya kepada Maesa. Sesuatu yang sangat berharga. Dan hanya mereka berdua yang mengetahuinya. Ia mengira mungkin rahasia itu telah bocor dan Bu Surti mengira dialah yang membocorkannya.
Bu Surti bilang itu adalah rahasia dan Maesa telah berjanji tak akan menceritakannya kepada siapapun. Tapi selama ini ia merasa tak pernah bercerita tentang rahasia itu kepada siapapun termasuk ibunya. Batinnya mencoba meluruskan permasalahan itu. Mungkin karena itu Bu Surti bersikap dingin terhadapnya.
Maesa terus melangkah dengan membawa dugaan-dugaan yang belum pasti. Ia harus memeriksa apakah benar rahasia Bu Surti telah terbongkar. Ia percepat langkahnya untuk sampai ke warung itu. Daun pintu setengah terbuka. Bu Surti terlihat sedang mengolah bahan makanan di dapur. Ia sengaja membiarkan pintu terbuka agar Maesa lebih leluasa masuk tanpa perlu mengetuk pintu lagi. Dengan begitu Maesa bisa langsung membuka warung.
Maesa masuk ke dalam. Diperhatikannya tiang-tiang bambu yang menyangga ruangan. Masih lengkap empat buah. Tak ada bekas dibongkar. Maesa mengetuk keempat tiang bambu itu. Masih padat berisi. Berarti rahasia Bu Surti masih aman. Jadi apa yang membuat Bu Surti bersikap aneh selama ini?
Ia semakin bingung dan tak mengerti. Diangkatnya bangku-bangku ke atas meja. Ia pun menyapu lantai ruangan itu. Kemudian membuka jendela warung dan mempersiapkan alat-alat untuk menggoreng.
Semuanya sudah siap. Sekarang lebih baik bertanya langsung kepada Bu Surti. Atau nanti saja. Mungkin pada saatnya nanti Bu Surti akan menceritakannya. Tapi kalau nanti-nanti, aku malah nggak betah lagi bekerja di sini. Kebingungan masih menggerayangi pikirannya. Bosan kalau terus-terusan begini. Bu Surti lebih banyak diam dan bersikap dingin kepadaku. Bahkan kepada pelanggan. Kalau terus begini bisa-bisa tak ada lagi yang mau membeli gorengan Bu Surti. Apa mungkin Bu Surti tak ingin berjualan lagi? Atau…
Ia terdiam sejenak. Mungkin karena aku pernah mengatakan padanya kalau aku ingin membuka warung yang lebih besar lagi. Lebih tepatnya sebuah warung makan yang tentunya juga menyediakan beragam jenis makanan dan gorengan. Mungkin karena itu Bu Surti merasa takut disaingi. Ia takut kalau pembeli tidak mau datang lagi ke warungnya. Maesa terus membatin.
Saat itu Maesa terjebak dalam hujan deras. Ia pun terpaksa menginap di warung Bu Surti. Sebelum tidur biasanya Bu Surti pernah bercerita tentang keinginannya. Ia juga menanyakan apa keinginan Maesa. Ia pernah mengatakan kalau nantinya ia ingin membuka sebuah warung makan bersama ibunya. Ia juga ingin membantu ibunya untuk menyekolahkan adik-adiknya. Sejak ayahnya meninggal ibunya hanya bekerja sebagai buruh tani. Untuk itulah ia berkeinginan untuk membuka warung. Tapi sebelumnya ia harus belajar dulu dari Bu Surti. Istilahnya, ia harus menimba pengalaman dari Bu Surti dengan bekerja di warungnya. Sekalian gajinya bisa menambah modal untuk membuka warung.
Ya, barangkali keinginannya yang besar itu membuat Bu Surti merasa tersaingi. Karena itu Bu Surti sepertinya enggan berbicara dengannya lagi. Dan sepertinya, semangatnya untuk berjualan pun telah hilang. Ia merasa bersalah pada Bu Surti. Tak seharusnya Bu Surti merasa takut tersaingi. Maesa mencoba mencari jalan keluar. Iapun memutuskan untuk bekerja sama dengan Bu Surti saat ia dan ibunya membuka warung makan yang besar nantinya. Jadi mitra usaha istilahnya.
Maesa tersenyum. Kini ia merasa sudah menemukan jawabannya. Mulai besok ia akan melihat Bu Surti tersenyum lagi. Bu Surti akan bercerita lebih banyak lagi. Maesa pun pergi ke dapur lalu membawa bahan makanan ke depan untuk digoreng. Sedangkan Bu Surti masih enggan berbicara dengannya.
Bu Surti melihat hari ini Maesa lebih bersemangat dibandingkan hari-hari lainnya. Bahkan semua tugas-tugasnya diambil alih oleh Maesa. Ia duduk diam terpaku di atas bangku. Menatap tingkah polah Maesa yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri.
Hari mulai beranjak malam. Gorengan yang dijual sudah tinggal sedikit, laris manis. Hari ini pembeli banyak yang datang ke warung Bu Surti. Mungkin semangat Maesa berpengaruh pada jumlah pelanggan hari ini. Udara dingin menyusup ke dalam warung. Bulan dan bintang tidak kelihatan. Mendung mengantar hujan malam ini. Sekilas gemuruh meretakan langit malam. Bagus sekali! Malam ini aku akan menginap disini, pikirnya. Semuanya akan semakin jelas.
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Bu Surti sudah beranjak ke kamar tidur dari tadi. Maesa menutup warung sendiri. Setelah itu ia langsung menuju kamar tidur. Ia perlahan-lahan membuka daun pintu. Bu Surti sedang terbaring di atas tempat tidur. Tapi ia belum menutup matanya. Ia sedang melamun. Pandangannya melayang menembus atap rumah. Maesa memperhatikan sudut mata Bu Surti yang meneteskan air mata. Ia kelihatan bersedih.
“Maaf, Bu!” Maesa menegur lamunan Bu Surti. Ia melangkah masuk. Ia rebahkan dirinya di samping Bu Surti. Sama-sama menatap langit-langit kamar. “Bu, Maesa minta maaf!”
“Minta maaf? Kamu kan tidak berbuat salah sama Ibu!”
“Akhir-akhir ini saya lihat Ibu sering terdiam. Tak mau bicara. Esa ada salah ama Ibu, kan?!”
“Ah, jangan berprasangka seperti itu. Kamu tidak ada salah apa-apa kok!”
“Lantas kenapa Ibu bersikap dingin selama ini?” Maesa mencoba mencari apa yang disembunyikan Bu Surti.
“Oh, sebenarnya Ibu mau bercerita sama kamu. Tapi rasanya kamu belum bisa mengerti.”
“Belum bisa mengerti bagaimana, Bu?” Maesa sadar kalau ia cuma tamatan SMP. Belum tahu banyak hal.
“Coba Ibu ceritakan mana yang Esa tidak mengerti!” Maesa tak mau menyerah begitu saja. Ia terus mencoba mencari jawaban dari Bu Surti.
Bu Surti bangun dari pembaringannya. Ia duduk menyandarkan tubuhnya ke dinding. Tubuh tuanya semakin lusuh. Ia mendesah panjang. “Kamu belum bisa mengerti, Sa.” Ia diam sejenak. Ia memperhatikan wajah Maesa. Penuh rasa ingin tahu. Bu Surti senang kalau Maesa adalah anak yang ingin tahu segala hal. Oleh karena itu ia selalu banyak memberikan pengetahuan kepada Maesa.
“Tapi baiklah kalau kamu benar-benar ingin tahu.” Maesa bangkit lalu duduk menghadap Bu Surti. Ia mulai mendengarkan penjelasan dari Bu Surti. “Kamu tahu kan rahasia Ibu selama ini. Harta Ibu yang paling berharga.”
Maesa teringat kalau dulu Bu Surti pernah menceritakan suatu rahasia padanya. Semenjak ia ditinggalkan oleh suaminya ia tidak memiliki apa-apa lagi. Kecuali gubuk kecil ini. Ia lalu merombak gubuknya untuk dijadikan sebuah warung. Di warung itu ia membuat empat buah tiang dari bambu. Ia melubangi bagian atas bambu itu. Di dalam bambu itulah ia menyimpan uang hasil penjualannya. Ia sisihkan uang hari demi hari. Ia berniat suatu hari nanti ia akan pergi naik haji dengan uang hasil jerih payahnya sendiri. Ia pernah bermimpi mengelilingi Ka’bah dan mencium Hajar Aswad saat ia tua nanti.
Untuk itulah Bu Surti bekerja keras sendiri. Ia menceritakan semuanya kepada Maesa. Semua impian dan harapannya. Naik haji dengan usaha sendiri. Maesa kagum dengan Bu Surti. Kagum dengan tekadnya yang begitu kuat. Ternyata tiang-tiang bambu itu adalah tempat penyimpanan uang Bu Surti. Cara yang paling unik untuk meraih impian di masa depan meskipun harus menunggu dalam waktu yang lama. Maesa lalu berjanji tak akan menceritakan rahasia itu pada siapa pun termasuk ibunya. Hingga kini rahasia itu tetap dikuburnya dalam-dalam.
“Kamu masih ingat kan?” Tanya Bu Surti lagi memecah lamunan Maesa.
“Iya, Bu!”
“Uang itu mungkin sudah cukup untuk biaya naik haji. Tapi masalahnya…” Bu Surti tidak melanjutkan kata-kataya. Ia merasa Maesa tidak akan mengerti.
“Masalah apa Bu?” Maesa menjadi penasaran.
“Masalahnya kamu tidak akan mengerti” Bu Surti tetap mencoba menyembunyikan sesuatu yang dipendamnya selama ini. Namun Maesa tak mau kalah. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya, pikirnya.
“Ya, coba Ibu jelaskan kenapa saya tidak bisa mengerti.”
“Baiklah kalau kamu memaksa. Kamu tahu Ibu sudah tua. Sebenarnya Ibu sangat ingin menunaikan ibadah haji di usia yang senja ini. Tapi…” Bu Surti diam sejenak. Perasaan sedih menyelimuti dirinya. Air mata mulai menetes di pipi. Mengalir di sungai keriputnya.
“Tapi apa, Bu?” Maesa semakin penasaran.
“Perasaan Ibu akhir-akhir ini kurang enak. Ibu takut akan ada sesuatu yang terjadi pada tiang-tiang itu. Ibu jadi tidak bersemangat lagi. Padahal Ibu sangat ingin pergi naik haji.”
“Ibu jangan berkata seperti itu.” Ia menganggap Bu Surti seperti ibunya sendiri. Ia tak ingin Bu Surti kehilangan harapannya untuk pergi haji. Dari Bu Surtilah ia mendapatkan banyak pelajaran.
“Kamu sudah Ibu anggap seperti anak Ibu sendiri. Kamu dengarkan Ibu baik-baik. Mungkin sesuatu bakal terjadi pada tiang bambu itu atau pada ibu. Sebagai anak Ibu, kamu harus menjaga tiang-tiang itu. Kamu juga harus menunaikan harapan Ibu seandainya Ibu tak sanggup pergi haji. Ingatlah pesan ini baik-baik.”
Maesa tidak mengerti. Ia tak mau Bu Surti berputus asa seperti itu hanya karena perasaannya yang tak jelas. Ia tak ingin Bu Surti merasa sedih. Ia peluk tubuh Bu Surti erat-erat. Ia diam dalam tangisnya.

Pintu warung tertutup. Maesa menggedor pintu berulang kali. Tak ada jawaban. Ia memanggil-manggil Bu Surti. Tiada yang menyahut. Ia tak sanggup untuk mendobrak pintu itu. Ia pun meminta Pak Narto, tetangga sebelah, untuk membantu mendobrak pintu. Akhirnya pintu terbuka.
Senyap. Tak ada suara Bu Surti yang biasanya mengolah bahan makanan di dapur. Maesa ditemani Pak Narto mencari Bu Surti di kamar. Ia masih terlihat berbaring di atas tempat tidur. Diam bergeming. Pak Narto memegang pergelangan tangan Bu Surti. Lalu menyentuh lehernya. Tampak raut kesedihan di wajah Pak Narto.
“Innalillahi wa innailaihi roji’un!” seru Pak Narto. Sebaiknya kita urus jenazah Bu Surti.
Maesa diam tak percaya. Semua terasa begitu cepat terjadi. Tak lama orang-orang mulai berdatangan. Mereka pun akhirnya mengantarkan jenazah Bu Surti ke pemakaman. Maesa pun masih diam. Pikirannya sekeruh wajahnya. Lidahnya kelu untuk mengungkapkan perasaan hatinya.
Kini ia mewarisi warung milik Bu Surti. Ia juga mewarisi uang yang disimpan Bu Surti selama ini. Namun tak ada yang tahu keberadaan uang itu selain Maesa. Ia pun membongkar tiang-tiang itu sendirian. Lagi-lagi ia terdiam sambil menatap uang-uang itu. Uang yang sangat banyak.
Akan tetapi hatinya masih sedih mengingat kepergian Bu Surti. Dadanya terasa sesak untuk menampung kesedihan. Apalagi pikirannya bertambah bingung. Ia lalu mengumpulkan uang-uang itu dan memasukkannya ke dalam kantung plastik. Kantung-kantung itu dibawa ke kamar dan diletakannya di atas tempat tidur.
Maesa merebahkan dirinya di samping kantung-kantung itu. Kepalanya tak sanggup lagi menampung kebingungan yang terus bertambah. Pandangannya menembus langit-langit rumah. Ia mempunyai impian, tapi wasiat Bu Surti harus ditunaikan. Ia pejamkan matanya. Dibawanya uang-uang itu ke alam mimpinya.
Selesai  Cerpen Karangan: Indra Dinata Syahputra Chan
Facebook: facebook/indradinchan

Comments

Popular Posts